Toni Malakian posts at 11:09 AM on Thursday, June 12, 2008

  • Media, Seni, dan Politik
  • Melawan dengan Karikatur

    Yusuf Maulana

    Karikaturis senior Agustin Sibarani memiliki penilaian mengenai kesalahan karikaturis dalam menggambar obyek yang dikarikaturkan. Di dalam Karikatur dan Politik (2001), Sibarani menuliskan, dalam membuat karikatur perorangan (personal caricature) misalnya, penggambaran watak dari obyek yang ditampilkan sering tidak sesuai dengan kenyataan.

    Koruptor, penipu, bahkan buronan, yang wajahnya dibuat tampak simpati merupakan karikatur yang salah besar. Sebaliknya, bila orang bahkan masyarakat maupun suatu kaum memuja sesosok tokoh, lalu tokoh tersebut digambarkan tidak simpatik, maka seorang karikaturis juga melakukan kesalahan besar.

    Meski John Howard atau Alexander Downer bukan pejabat Australia yang bebas dari kesalahan, di mata Bill Leak, penggambaran keduanya oleh Rakyat Merdeka (edisi 27 Maret 2006) sebagai serangan yang tidak boleh dibiarkan. Bagaimanapun, kedua pejabat negerinya itu masih memiliki kehormatan. Digambarkannya Howard dan Downer sebagai dingo yang tengah berkawin merupakan pelecehan harkat bangsa Australia. Dalam profesinya sebagai karikaturis, bisa dimengerti bila Leak ingin menampilkan patriotismenya.

    Sayangnya, karya Leak yang dimuat di The Weekend Australian (edisi 1 April 2006) justru mengulangi "kreativitas" yang telah dihasilkan Fonda Lapod untuk harian di Jakarta itu. Leak hanya berasumsi bahwa masyarakat Indonesia sudah bisa menerima karikatur dengan tingkat kebebasan sebagaimana diperlihatkan dalam karya Lapod. Dari sini Leak kemudian meniru "genre" yang diawali Lapod: mengonstruksi gambar yang nyaris sama namun dengan figur berbeda (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono).

    Leak lupa bahwa untuk merespons karikatur yang dipandang melecehkan kepala negaranya tidak perlu dilakukan secara ofensif berlebihan. Bukankah karya Lapod memang ditujukan—sebagaimana segmentasi harian yang memuatnya—pembaca dari kalangan menengah ke bawah? Ditambah lagi peredaran harian itu hanya di Jakarta dan kota di sekitarnya. Pendeknya, "penghinaan" karikatur di harian Jakarta itu sebenarnya berskala lokal.

    Respons Leak terlihat emosional: menempatkan karya karikatur di Jakarta sebagai provokasi yang harus segera dibalas. Leak gegabah menyimpulkan masyarakat Indonesia sepenuhnya menerima karya Lapod. Lewat karya patriotismenya itu, Leak justru memperlihatkan kenaifannya sebagai karikaturis terpandang: membuat asumsi untuk dijadikan alibi membuat karya pembalasan.

    Ada kode etik
    Aksi balas-membalas karikatur tersebut sebetulnya bukan persoalan bila kode etik perkarikaturan tetap dihormati. Betapa pun kebebasan untuk menyatirkan pejabat atau kelompok tertentu sangat dijunjung tinggi, ada batas-batas tertentu yang harus dijaga. Hal-hal yang berkaitan dengan SARA, kecabulan, dan cacat fisik, patut diperhatikan oleh karikaturis agar di kemudian hari tidak timbul persoalan.

    Andai karikatur Lapod dan Leak tidak menggambarkan adanya hubungan (maaf) biologis, besar kemungkinan masyarakat di kedua negara masih bisa menoleransi karya keduanya. Seliberal apa pun perilaku masyarakat Australia ternyata di antara mereka menafsiri karikatur di harian Jakarta itu sebagai bentuk penghinaan yang kasar. Dan terlebih lagi, bagi (mayoritas) masyarakat Indonesia yang peka terhadap seksualitas, karya Leak amat mudah menyulut kemarahan. Benarlah yang dikatakan Sibarani, akibat kesalahan yang dilakukan karikaturis, efeknya menjalari ketegangan diplomatik antarnegara.

    Dalam aksi balas-membalas karikatur tersebut terlihat efek psikis yang menjadikan keadaan yang sebenarnya normal seolah- olah abnormal; keadaan yang sebenarnya damai seolah konflik. Dengan adanya balasan dari Leak, bertambah ketegangan di antara kedua negara, seperti menghadapi perang terbuka.

    Saat kondisi berperang bisa diterima adanya upaya propaganda melalui teknik-teknik yang provokatif, termasuk dengan melecehkan simbol kehormatan pihak lawan. Memburuknya hubungan Indonesia-Australia saat ini tentu saja belum sampai tingkatan siaga-perang. Namun, disebabkan adanya aksi balas-membalas lewat karikatur, secara perlahan terbentuk imajinasi-kolektif patriotisme di setiap warga di kedua negara.

    Karikatur bukanlah gambar biasa yang berposisi statis, atau merefleksikan sama persis obyek yang digambar. Seperti asal katanya, caricare, yang bermakna memuat (dalam hal ini memuat "berlebihan"), karikatur memang menekankan kesatiran dan pendistorsian. Ini yang tidak dijumpai dalam kartun; kartun lebih mengutamakan humor, serta kurang menekankan titik satiris dan distorsi.

    Dengan menitikberatkan pada kesatiran dan distorsi, seorang karikaturis harus mampu menggali pemaknaannya terhadap realitas yang terjadi di sekitarnya ke dalam unsur-unsur grafis yang "berlebihan". Karikaturis bertugas "menerjemahkan" realitas eksternal ke dalam bahasa tanda yang menurutnya relevan dalam memengaruhi publik: menghibur tanpa mengabaikan fungsi kritik.

    Dalam kebebasannya, seorang karikaturis dengan mudah memainkan pertandaan. Kebebasan yang disandangnya menjadi haknya, untuk selanjutnya "dipertanggungjawabkan" kepada publik lewat karyanya. Meski kebebasan berkreativitas melekat bersama profesinya, karikaturis tidak bisa memainkan pertandaan seenaknya. Kalaupun tidak membuahkan ketegangan politik seperti dalam aksi balas-membalas karikatur di atas, setidaknya karikaturis hanya menghasilkan karya propaganda yang tidak mengindahkan kualitas karyanya sama sekali.

    Media perlawanan
    Bagi pihak tertindas, karikatur merupakan media perlawanan. Sementara bagi pihak yang berkuasa atau dominan, karikatur tidak lain media pembalasan untuk "menertibkan" pihak tertindas. Karena itulah perang karikatur sebenarnya bisa dilihat sebagai perpanjangan perang atau konflik dalam dunia nyata.

    Tidak terlalu salah perkataan Jean Romnicianu (seperti dikutip Ismail Kusmayadi, 2004), bahwa seni kartun dan karikatur adalah seni yang sulit, kejam, berbahaya, sekaligus bermanfaat. Dikatakan sulit, karena jenis seni ini menuntut sang seniman untuk mencari cacat dan kebutaan suatu masyarakat yang notabene dia sendiri sebagai bagian dari masyarakat itu. Sebelum meledek orang lain ia harus bisa meledek diri sendiri, dan semua orang tahu justru itulah yang paling sulit. Disebut kejam, karena tawa (menertawakan orang lain) itu tak pernah menjadi tawa yang baik hati. Kalau dipikir-pikir, orang hanya menertawakan sesuatu yang melukai dirinya sendiri atau orang lain. Seolah-olah tawa bukan manifestasi dari kesenangan belaka, tapi juga merupakan pertahanan melawan kepedihan. Karikatur juga dianggap berbahaya, karena meledek orang lain adalah cara terbaik mencari musuh bebuyutan.

    Namun, kartun dapat bermanfaat karena kartun merupakan cara terbaik, yang cepat ditangkap, yang paling terbaca, untuk melihat sesuatu yang abnormal. Selain itu, kartun juga berguna sebagai pengungkap kebenaran yang tak kenal ampun.

    Frase "pengungkap kebenaran yang tak kenal ampun"—dalam pandangan Romnicianu—tentu berbeda jauh dengan "pengungkap yang tak kenal ampun". Titik tekan keberhasilan dan tingginya kualitas karya karikatur tidak bisa dilepaskan dari motif mengungkap kebenaran.

    Memang, pada saat terjadi konflik (terlebih sudah berperang), karikatur akan sangat terbuka untuk mengalami pemaknaan yang dilebih-lebihkan. Dalam konteks ini, karikatur dibuat hanya dengan semangat patriotisme fanatik, namun mengabaikan kebenaran.

    Meski demikian, pengalaman juga mencontohkan bahwa dengan tetap menjaga etika dan kualitas, serta saat yang sama patriotisme dijalankan, David Low menjadi karikaturis Inggris terpandang. Kepahlawanan Low mengikuti pendahulunya: Thomas Rowlandson dan James Gillary. Lewat karikaturnya, Low kemudian dicatat dalam Encyclopedi Americana sebagai salah satu dari komentator paling dikenal dan dikagumi pada abad XX tentang berbagai peristiwa dunia, terutama tentang Hitler dan Nazi selama Perang Dunia II. Gara-gara karikatur Low, kabarnya Hitler sempat tidak bisa tertidur.

    Yusuf Maulana
    Pencinta karikatur; Bekerja pada Institut Analisis Propaganda

    Source: Harian KOMPAS Sabtu, 08 April 2006