Toni Malakian posts at 12:39 AM on Tuesday, November 24, 2009

  • Caricature of Pope
  • #1


    #2


    #3


    #4


    #5

    Toni Malakian posts at 11:06 PM on Saturday, July 19, 2008

  • Apa dan Bagaimana Karikatur
  • Judul: Karikatur dan Politik
    Penulis: Augustin Sibarani
    Pengantar: Benedict R.O.G. Anderson
    Cet. I, Jakarta, Juli 2001
    Penerbit: Isai, Garba Budaya, &
    Media Lintas Inti Nusantara
    Tebal: xii + 422 Halaman

    Kita sering melihat karikatur di berbagai suratkabar. Dan tak jarang, yang pertama kali kita lihat ketika membeli surat kabar adalah karikaturnya. Ada rasa lucu, nyeri, atau bahkan sedih ketika melihat sebuah karikatur di berbagai suratkabar itu. Namun, benarkah pemahaman kita selama ini tentang karikatur? Apa sebenarnya karikatur itu? Bagaimana sebuah karikatur itu ada?

    Terbit setelah Orde Baru jatuh, Augustin Sibarani memaksudkan buku ini bukan sekedar sebagai kumpulan karikatur-karikatur yang pernah dibuatnya. Di bagian pertama bukunya, ia mengangkat sejarah perkembangan karikatur di dunia secara umum dan di Indonesia secara khusus. Sembari menceritakan itu semua, ia menuliskan juga semacam perjalanan hidupnya sebagai seorang karikaturis di Indonesia. Sedang di bagian kedua diisinya dengan kumpulan karikaturnya dari sejak tahun-tahun terakhir Orde Baru sampai pemerintahan Gusdur-Mega.

    Tentang karikatur sendiri, dalam Encyclopedie Internasional, karikatur didefinisikan sebagai sebuah “satire” dalam bentuk gambar atau patung. Adapun dalam Encyclopedie Britaninica, karikatur didefinisikan sebagai penggambaran seseorang, suatu tipe, atau suatu kegiatan dalam keadaan terdistorsi—biasanya suatu penyajian yang diam dan dibuat berlebih-lebihan dari gambar-gambar binatang, burung, sayur-sayuran yang menggantikan bagian-bagian benda hidup atau yang ada persamaannya dengan kegiatan binatang (hal. 10-11).

    Oleh penulis, disimpulkan bahwa sebuah karikatur mesti dilukiskan dengan mengandung dua ciri: (1) adanya satire dan (2) adanya distorsi. “Satire” di sini diartikan sebagai sebuah ironi, suatu tragedi-komedi atau suatu parodi. Karena itu, di dalamnya dapat mengandung sesuatu yang janggal, “absurd”, yang bisa menertawakan, tapi bisa juga memprihatinkan atau menyedihkan.

    Dengan melihat ciri-ciri itu, ternyata Leonardo da Vinci dan Albrecht Durer telah memulainya sejak sekitar tahun 1550. Tentu saja, mereka memulainya dalam bentuk lukisan pada umumnya (baca: “fine art”), bukan seperti “coretan-coretan-seadanya” a la karikatur pada saat ini. Di Indonesia kita, Bung Karno termasuk salah seorang karikaturis pada zaman Belanda dulu. Dalam beberapa karikaturnya itu, ia biasa mencantumkan nama samarannya, Soemini.

    Tentang sifat karikatur, karikatur dapat dibagi menjadi tiga macam: karikatur orang-pribadi, karikatur sosial, dan karikatur politik. Karikatur orang-pribadi menggambarkan seseorang (biasanya tokoh yang dikenal) dengan mengekspose ciri-cirinya dalam bentuk wajah ataupun kebiasaannya—tanpa objek lain atau situasi di sekelilingnya—secara karikatural. Karikatur sosial sudah tentu mengemukakan dan menggambarkan persoalan-persoalan masyarakat yang menyinggung rasa keadilan sosial. Karikatur politik menggambarkan suatu situasi politik sedemikian rupa agar kita dapat melihatnya dari segi humor dengan menampilkan para tokoh politik di atas panggung dan mementaskannya dengan lucu.

    Satu hal yang tak patut dilupakan, betapa pun, dunia karikatur memiliki kode etik yang banyak tak diketahui orang termasuk oleh para karikaturis. Seorang karikaturis memang memiliki kebebasan mengemukakan temanya dengan gaya satiris humor yang khas, selama karikaturnya itu tidak vulgar atau amoral atau mengetengahkan cacat fisik manusia dan tidak pula kotor atau jorok. Selain itu, karikatur yang baik adalah karikatur yang paling hemat kata, bahkan kalau bisa tanpa kata sama sekali! Sebab karikatur berbeda dengan poster yang bisa saja (bahkan lazim) boros kata-kata.

    Salah seorang karikaturis Indonesia yang gagal di mata penulis adalah Harmoko (mantan Ketua MPR). Ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963—1965, karikatur-karikatur Harmoko banyak dimuat. Sayangnya, karikatur-karikaturnya itu banyak yang menyalahi kode etik di atas. Selain terkesan kotor, sadistis, dan hal-hal lain yang membuat kualitasnya rendah, karikatur-karikatur Harmoko banyak yang boros-kata dan tak logis.

    Padahal seorang karikaturis dapat mempengaruhi banyak orang dengan pesan dan kesan yang dimuat dalam karikaturnya, ia memiliki “kekuatan” dalam karikatur yang dibuatnya. David Low, karikaturis Inggris, sampai sekarang masih dikenal banyak orang sebagai seorang karikaturis yang (konon) pernah membuat Hitler tak bisa tidur akibat karikatur yang dibuatnya pada waktu Perang Dunia II berlangsung. Thomas Nast, karikaturis dari Amerika Serikat, pernah dengan karikaturnya menjatuhkan seorang calon kuat presiden Amerika Serikat yang memiliki a-moralitas mencolok mata pada masa kampanye.

    Maka, seorang karikaturis idealnya memiliki kemampuan melihat persoalan-persoalan sosial-politik yang baik selain kemampuan teknis menggambar karikatur. Dengannya, ia bisa bersuara terhadap perkembangan sosial-politik yang terjadi saat itu. Dengannya pula ia bisa mewakili kekecewaan-kekecewaan yang terjadi di sekelilingnya. Karikaturis pun bukan orang yang susah dapat ilham karenanya.

    Dengan melihat apa yang digariskan di atas, maka dapat dibedakan antara sebuah karikatur dengan sebuah gambar kartun yang selama ini banyak orang salah kaprah dalam membedakan keduanya—termasuk beda peristilahan antara karikaturis dengan kartunis. Begitu pula dengan anggapan keliru yang telah umum bahwa karikatur hanya ada dalam persuratkabaran. Padahal dapat dikatakan: sebuah karikatur sudah pasti sebuah kartun, sedangkan kartun belum tentu merupakan sebuah karikatur. Lantas apa bedanya?

    Secara bahasa, karikatur berasal dari bahasa Italia, “caricare”, yang artinya memuat (dalam hal ini memuat berlebihan). Kata “caricatura” baru populer dan digunakan orang dalam kehidupan dunia seni sekitar tahun 1665. Seniman yang mengenalkan kata itu adalah Gian Lorenzo Bernini, seorang pematung dan arsitek, ketika datang ke Perancis. Adapun kartun berasal dari bahasa Perancis, “cartone”, yang artinya kertas. Kartun memang biasa digambar di atas kertas atau bahan sejenisnya.

    Sebenarnya, baik kartun ataupun karikatur, masing-masing memiliki titik satiris. Bedanya, dalam gambar kartun titik satiris itu tak ditekankan sebagai sesuatu yang dominan seperti halnya dalam karikatur. Kartun lebih mengutamakan humor ketimbang “satire”. Kartun juga tak mengandung unsur distorsi. Kalaupun ada unsur distorsi, unsur itu bukan sesuatu yang diutamakan. Yang jelas, keduanya dapat banyak dijumpai di suratkabar yang sama sekalipun.

    Sebuah lukisan, kata penulis, memiliki sejuta makna. Hanya saja, seringkali orang tak bisa membedakan antara karikatur, kartun, sketsa, dan ilustrasi. Gambar-gambar berupa coretan-coretan yang cuma berfungsi sebagai penghias halaman atau pemanis tulisan atau artikel dan tak mengandung peranan sosial-politis di dalamnya disebut dengan sketsa. Adapun gambar yang merupakan hiasan untuk perlengkapan atau penunjang cerita dalam sebuah buku atau penulisan, maka lazimnya disebut dengan gambar ilustrasi. Keduanya bukan karikatur. Namun kedua jenis gambar ini bisa saja dibuat menjadi karikatur.

    Sayang sekali, penulis tak pernah menjelaskan tentang beda antara lukisan dan gambar. Sebab, menurut Umar Kayam, antara kedua kata itu masing-masing memiliki pengertian yang berbeda. Akibatnya, pemakaian yang terkesan tumpang-tindih dari kedua kata itu sering membuat tafsiran penulis rancu. Contohnya gambar 2.4 (halaman 69) di mana gaya hidup “Indies” (baca: budaya campuran yang terjadi dari akulturasi antara budaya Barat dengan budaya lokal dalam hal ini Jawa) dari seorang nyonya Belanda ditafsirkan sebagai usaha pendekatan dan penyatuan-diri pura-pura dengan penduduk pribumi.

    Contoh kesalahan di atas memang terkesan sepele, tapi sebenarnya fatal. Padahal buku yang berguna untuk meluruskan pemahaman kita tentang karikatur ini dapat membantu apresiasi masyarakat luas terhadap karikatur-karikatur yang sering dijumpai di suratkabar-suratkabar. Lagipula, kata penulis sendiri, tak sedikit ternyata kartunis yang mengaku sebagai karikaturis atau malah seorang karikaturis justru lebih bangga disebut sebagai kartunis ketimbang karikaturis tanpa mengecek kerja yang dilakukannya. Jelas perlu pelurusan.

    --Rimbun Natamarga
    source: Ruangbaca Tempo

    Labels: ,

    Toni Malakian posts at 11:09 AM on Thursday, June 12, 2008

  • Media, Seni, dan Politik
  • Melawan dengan Karikatur

    Yusuf Maulana

    Karikaturis senior Agustin Sibarani memiliki penilaian mengenai kesalahan karikaturis dalam menggambar obyek yang dikarikaturkan. Di dalam Karikatur dan Politik (2001), Sibarani menuliskan, dalam membuat karikatur perorangan (personal caricature) misalnya, penggambaran watak dari obyek yang ditampilkan sering tidak sesuai dengan kenyataan.

    Koruptor, penipu, bahkan buronan, yang wajahnya dibuat tampak simpati merupakan karikatur yang salah besar. Sebaliknya, bila orang bahkan masyarakat maupun suatu kaum memuja sesosok tokoh, lalu tokoh tersebut digambarkan tidak simpatik, maka seorang karikaturis juga melakukan kesalahan besar.

    Meski John Howard atau Alexander Downer bukan pejabat Australia yang bebas dari kesalahan, di mata Bill Leak, penggambaran keduanya oleh Rakyat Merdeka (edisi 27 Maret 2006) sebagai serangan yang tidak boleh dibiarkan. Bagaimanapun, kedua pejabat negerinya itu masih memiliki kehormatan. Digambarkannya Howard dan Downer sebagai dingo yang tengah berkawin merupakan pelecehan harkat bangsa Australia. Dalam profesinya sebagai karikaturis, bisa dimengerti bila Leak ingin menampilkan patriotismenya.

    Sayangnya, karya Leak yang dimuat di The Weekend Australian (edisi 1 April 2006) justru mengulangi "kreativitas" yang telah dihasilkan Fonda Lapod untuk harian di Jakarta itu. Leak hanya berasumsi bahwa masyarakat Indonesia sudah bisa menerima karikatur dengan tingkat kebebasan sebagaimana diperlihatkan dalam karya Lapod. Dari sini Leak kemudian meniru "genre" yang diawali Lapod: mengonstruksi gambar yang nyaris sama namun dengan figur berbeda (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono).

    Leak lupa bahwa untuk merespons karikatur yang dipandang melecehkan kepala negaranya tidak perlu dilakukan secara ofensif berlebihan. Bukankah karya Lapod memang ditujukan—sebagaimana segmentasi harian yang memuatnya—pembaca dari kalangan menengah ke bawah? Ditambah lagi peredaran harian itu hanya di Jakarta dan kota di sekitarnya. Pendeknya, "penghinaan" karikatur di harian Jakarta itu sebenarnya berskala lokal.

    Respons Leak terlihat emosional: menempatkan karya karikatur di Jakarta sebagai provokasi yang harus segera dibalas. Leak gegabah menyimpulkan masyarakat Indonesia sepenuhnya menerima karya Lapod. Lewat karya patriotismenya itu, Leak justru memperlihatkan kenaifannya sebagai karikaturis terpandang: membuat asumsi untuk dijadikan alibi membuat karya pembalasan.

    Ada kode etik
    Aksi balas-membalas karikatur tersebut sebetulnya bukan persoalan bila kode etik perkarikaturan tetap dihormati. Betapa pun kebebasan untuk menyatirkan pejabat atau kelompok tertentu sangat dijunjung tinggi, ada batas-batas tertentu yang harus dijaga. Hal-hal yang berkaitan dengan SARA, kecabulan, dan cacat fisik, patut diperhatikan oleh karikaturis agar di kemudian hari tidak timbul persoalan.

    Andai karikatur Lapod dan Leak tidak menggambarkan adanya hubungan (maaf) biologis, besar kemungkinan masyarakat di kedua negara masih bisa menoleransi karya keduanya. Seliberal apa pun perilaku masyarakat Australia ternyata di antara mereka menafsiri karikatur di harian Jakarta itu sebagai bentuk penghinaan yang kasar. Dan terlebih lagi, bagi (mayoritas) masyarakat Indonesia yang peka terhadap seksualitas, karya Leak amat mudah menyulut kemarahan. Benarlah yang dikatakan Sibarani, akibat kesalahan yang dilakukan karikaturis, efeknya menjalari ketegangan diplomatik antarnegara.

    Dalam aksi balas-membalas karikatur tersebut terlihat efek psikis yang menjadikan keadaan yang sebenarnya normal seolah- olah abnormal; keadaan yang sebenarnya damai seolah konflik. Dengan adanya balasan dari Leak, bertambah ketegangan di antara kedua negara, seperti menghadapi perang terbuka.

    Saat kondisi berperang bisa diterima adanya upaya propaganda melalui teknik-teknik yang provokatif, termasuk dengan melecehkan simbol kehormatan pihak lawan. Memburuknya hubungan Indonesia-Australia saat ini tentu saja belum sampai tingkatan siaga-perang. Namun, disebabkan adanya aksi balas-membalas lewat karikatur, secara perlahan terbentuk imajinasi-kolektif patriotisme di setiap warga di kedua negara.

    Karikatur bukanlah gambar biasa yang berposisi statis, atau merefleksikan sama persis obyek yang digambar. Seperti asal katanya, caricare, yang bermakna memuat (dalam hal ini memuat "berlebihan"), karikatur memang menekankan kesatiran dan pendistorsian. Ini yang tidak dijumpai dalam kartun; kartun lebih mengutamakan humor, serta kurang menekankan titik satiris dan distorsi.

    Dengan menitikberatkan pada kesatiran dan distorsi, seorang karikaturis harus mampu menggali pemaknaannya terhadap realitas yang terjadi di sekitarnya ke dalam unsur-unsur grafis yang "berlebihan". Karikaturis bertugas "menerjemahkan" realitas eksternal ke dalam bahasa tanda yang menurutnya relevan dalam memengaruhi publik: menghibur tanpa mengabaikan fungsi kritik.

    Dalam kebebasannya, seorang karikaturis dengan mudah memainkan pertandaan. Kebebasan yang disandangnya menjadi haknya, untuk selanjutnya "dipertanggungjawabkan" kepada publik lewat karyanya. Meski kebebasan berkreativitas melekat bersama profesinya, karikaturis tidak bisa memainkan pertandaan seenaknya. Kalaupun tidak membuahkan ketegangan politik seperti dalam aksi balas-membalas karikatur di atas, setidaknya karikaturis hanya menghasilkan karya propaganda yang tidak mengindahkan kualitas karyanya sama sekali.

    Media perlawanan
    Bagi pihak tertindas, karikatur merupakan media perlawanan. Sementara bagi pihak yang berkuasa atau dominan, karikatur tidak lain media pembalasan untuk "menertibkan" pihak tertindas. Karena itulah perang karikatur sebenarnya bisa dilihat sebagai perpanjangan perang atau konflik dalam dunia nyata.

    Tidak terlalu salah perkataan Jean Romnicianu (seperti dikutip Ismail Kusmayadi, 2004), bahwa seni kartun dan karikatur adalah seni yang sulit, kejam, berbahaya, sekaligus bermanfaat. Dikatakan sulit, karena jenis seni ini menuntut sang seniman untuk mencari cacat dan kebutaan suatu masyarakat yang notabene dia sendiri sebagai bagian dari masyarakat itu. Sebelum meledek orang lain ia harus bisa meledek diri sendiri, dan semua orang tahu justru itulah yang paling sulit. Disebut kejam, karena tawa (menertawakan orang lain) itu tak pernah menjadi tawa yang baik hati. Kalau dipikir-pikir, orang hanya menertawakan sesuatu yang melukai dirinya sendiri atau orang lain. Seolah-olah tawa bukan manifestasi dari kesenangan belaka, tapi juga merupakan pertahanan melawan kepedihan. Karikatur juga dianggap berbahaya, karena meledek orang lain adalah cara terbaik mencari musuh bebuyutan.

    Namun, kartun dapat bermanfaat karena kartun merupakan cara terbaik, yang cepat ditangkap, yang paling terbaca, untuk melihat sesuatu yang abnormal. Selain itu, kartun juga berguna sebagai pengungkap kebenaran yang tak kenal ampun.

    Frase "pengungkap kebenaran yang tak kenal ampun"—dalam pandangan Romnicianu—tentu berbeda jauh dengan "pengungkap yang tak kenal ampun". Titik tekan keberhasilan dan tingginya kualitas karya karikatur tidak bisa dilepaskan dari motif mengungkap kebenaran.

    Memang, pada saat terjadi konflik (terlebih sudah berperang), karikatur akan sangat terbuka untuk mengalami pemaknaan yang dilebih-lebihkan. Dalam konteks ini, karikatur dibuat hanya dengan semangat patriotisme fanatik, namun mengabaikan kebenaran.

    Meski demikian, pengalaman juga mencontohkan bahwa dengan tetap menjaga etika dan kualitas, serta saat yang sama patriotisme dijalankan, David Low menjadi karikaturis Inggris terpandang. Kepahlawanan Low mengikuti pendahulunya: Thomas Rowlandson dan James Gillary. Lewat karikaturnya, Low kemudian dicatat dalam Encyclopedi Americana sebagai salah satu dari komentator paling dikenal dan dikagumi pada abad XX tentang berbagai peristiwa dunia, terutama tentang Hitler dan Nazi selama Perang Dunia II. Gara-gara karikatur Low, kabarnya Hitler sempat tidak bisa tertidur.

    Yusuf Maulana
    Pencinta karikatur; Bekerja pada Institut Analisis Propaganda

    Source: Harian KOMPAS Sabtu, 08 April 2006

    Toni Malakian posts at 12:49 AM on Monday, October 02, 2006

  • Ehud Olmert
  • Toni Malakian posts at 11:48 PM on Sunday, October 01, 2006

  • Jacques Chiraq
  • Toni Malakian posts at 4:21 AM on Friday, September 29, 2006

  • C.T. Sibarani
  • Toni Malakian posts at 9:35 PM on Thursday, September 28, 2006

  • Yasser
  • Toni Malakian posts at 5:14 PM on Wednesday, September 27, 2006

  • Occupation


  • Toni Malakian posts at 3:33 AM on Sunday, September 24, 2006

  • soldier side